Dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki tahun 1981, pelukis dan penari Bagong Kussudiardja mengatakan bahwa seorang seniman bisa dianggap besar apabila karyanya menghasilkan “isme”. Yang dimaksud “isme” adalah pemahaman yang diberangkatkan dari keyakinan wacana dan pemikiran.
Sebuah “isme” biasanya akan melahirkan pengikut. Dan pengikut akan memunculkan sebuah aliran. Sedangkan sebuah aliran, pada waktunya akan melahirkan sejumlah keyakinan wacana dan pemikiran baru. Keyakinan wacana dan pemikiran baru ini akan menghasilkan sub isme, yang dikemudian hari mungkin akan jadi isme baru.
Fakta apa yang dikatakan Bagong Kussudiardja itu memang tercatat dalam sejarah. Affandi adalah pelukis besar, yang kemudian melahirkan Affandisme. Bahkan konon sebagian pelukis akan melewati gaya Affandi sebelum mereka menemukan gayanya sendiri. Begitu pula begitu pula Claude Monet dengan impresionismenya, Picasso dengan kubismenya, Salvador Dali dengan surealismenya, Yue Minjun dengan realisme sinisnya, Basoeki Abdullah dengan realisme romantiknya. Ahmad Sadai dengan abstrak dan abstraksinya. Atau Bagong sendiri dengan koreografi Nusantara-Martha (Graham)nya.
Lalu apabila Wedha dengan “pop art portrait”nya kini melahirkan isme, -sebut saja “Wedhaisme”- , apakah sudah waktunya perupa Wedha disebut seniman besar? Tentu kita tidak harus terburu-buru. Meskipun fakta telah menunjukkan bahwa gaya lukisan Wedha sejak dirilis lewat pameran tunggal pada 2008 silam telah melahirkan pengikut begitu banyak. Namun apabila istilah “besar” belum waktunya disandang, maka sebutan “populer” mungkin lebih tepat untuk dikenakan.
Keberhasilan Wedha ini cerminan dari upaya perupa kontemporer yang pandai memanfaatkan teknologi informasi modern untuk naik ke langit pembicaraan. Visual karya-karya Wedha yang apik, dengan tentu diimbuh presentasi wacana dan pemikiran, dan dibonusi teknik-teknik pembuatan, diperkenalkan di antaranya lewat FaceBook. Dasi sini kemudian lahir sekumpulan penggemar karya-karya Wedha, yang awalnya dibentuk dalam komunitas deviantart. Yang menarik, dalam komunitas ini Wedha secarta blak-blakan mengajarkan teknik pembuatan karyanya, sehingga bisa diikuti oleh siapa pun yang ingin bergabung dalam barisan Wedha’s Pop Art Portrait ( WPAP).
Mungkin tidak ada dalam dugaan Wedha, kegemaran untuk melukis ala Wedha ini sampai lewat tengah tahun 2010 sudah diikuti banyak orang. Dan mereka muncul dari beragam profesi. Dari pegrafis profesional, mahasiswa, fotografer, pengusaha sampai ibu rumah tangga. Untuk ini kita harus menyebut nama Seto Buje, Najeeb, Toni Agustian, Itock Soekarso, Triyanto, Sungging Priyanto, Eva Riny, Toto Haryanto, Toto M Setiawan,Dwee Imoet, Walet Mulz, Stefanie Dyah dst, yang kadang melahirkan karya sangat menyenangkan dan mencengangkan
.
.
Realitas ini selain agak mengagetkan, juga menggembirakan sisi idealis Wedha, yang bernama lengkap Wedha Abdul Rasyid, dan lahir di Cirebon 10 Maret 1951.
“Saya berkeyakinan, dengan pop art seni rupa akan lebih melibat ke dalam masyarakat Indonesia. Dan masyarakat Indonesia akan lebih masuk dalam penciptaan seni rupa, karena pop art menawarkan kesan bahwa semua orang bisa berpartisipasi. Selama ini saya melihat bahwa pelaku seni rupa pop art selalu orang-orang Eropa dan Amerika. Padahal orang Indonesia juga memiliki peluang besar untuk tampil ke depan.”, kata Wedha.
Lukisan-lukisan Wedha yang disebut pop art itu mengusung potongan-potongan warna, yang ia wacanakan sebagai “esensi warna”. Berbagai warna yang muncul dalam serpihan geometris ini pada tahap kemudian dihitung dengan rinci untuk dikomposisikan serupa mozaik, sehingga membentuk figur atau benda-benda. Selaras dengan warna-warna “hidup” yang dipilih, figur-figur yang ditampilkan sebagai obyek adalah tokoh-tokoh populer dalam masyarakat, seperti Jimi Hendrix, Marilyn Monroe, Paul McCartney, Elvis Presley, Bung Karno. John Lennon, Jakob Oetama, Iwan Fals, Barack Obama, personil Slank sampai Agnes Monica. Maka Wedha’s Pop Art Portrait itu pun jadilah.
Bagi Wedha “esensi warna” bukan pada citra pancaran sebagaimana tertulis dalam fisika (merah, kuning, biru), tetapi pada sifatnya : warna depan dan warna belakang, serta warna terang dan warna gelap. Dan partikel-partikel geometris itu tidak harus tampil kaku (sehingga sangat matematis bagai lukisan Mondriaan), tetapi memiliki keluwesan dalam merespon bidang. Baginya, partikel geometris tidak mengandung unsur kurva, lantaran sebuah kurva dianggap terjadi dari rangkaian garis-garis pendek yang berbentuk lurus.
Wedha, yang terkenal sebagai ilustrator, memulai gaya mozaik warna ini sejak tahun 1990-an. Untuk menyingkirkan kebosanannya dalam mengerjakan ilustrasi yang selama itu diacukan kepada realisme, ia mulai mengubah gradasi yang ada dalam skin tone dan drapery menjadi petak-petak warna. Medium yang digunakan adalah pinsil, cat air dan cat poster. Pada awalnya petak-petak warna itu sungkan untuk telak memisahkan diri satu sama lain. Namun pada tahun-tahun berikutnya setiap warna dengan tegas dipisahkan, sehingga mutlak berdiri sendiri, meski dalam komposisinya tetap dalam ikatan yang melengkapi. Ketika era teknologi seni rupa tiba, Wedha mengolah proses “penghancuran gradasi” itu dengan komputer. Lalu ia pun melukis dengan komputer.
Jajaran foto figur aikon yang yang ditemui di berbagai media ia lebur dengan ganasnya, untuk kemudian dihidupkan lagi dalam kondisi yang lain. Komputer ia program untuk menjadikan figur itu tertumpuk bidang-bidang warna.Wedha lalu meniti, menyeleksi, mengatur, menjinakkan dan menata bidang-bidang warna itu satu persatu. Proses penyusunan warna dan bidang yang rumit tersebut berjalan di bawah pengetahuan dan penghayatannya atas watak dan biografi figur yang digambarkan. Di sini ia bertindak seperti seorang mozaikus menyusun lempeng-lempeng keramik dan kaca. Setelah semua final, lukisan komputer itu dicetak dalam bentuk photo print. Maka Wedha pun masuk dalam proses manual :
melukis gambar yang ada di photo print itu ke dalam kanvas, dengan cat akrilik.
Karya-karya potret pop art Wedha yang telah diunduh oleh komunitas dunia maya, akhirnya hadir dalam dunia konkrit, dalam kancah industri seni. Pada era post modern, kehadiran karya seni dalam kategori apapun (termasuk fine art) dalam lingkup industri adalah hal yang biasa bahkan niscaya.
Hal ini mengingatkan saya kepada pengalaman sekitar 20 tahun lalu. Pada tahun 1991, di Hotel Hilton Los Angeles saya menyaksikan pameran patung karya Frederic Remington (1861-1909), perupa Amerika yang dikenal dengan obyek-obyek kuda, Indian dan koboi. Dalam pameran itu puluhan patung Remington disuguhkan dalam berbagai ukuran, sehingga bisa untuk ditaruh di taman, di ruang tamu sampai sebagai penindih kertas di meja kantor. Dalam katalogus disebut, bahwa karya-karya besar Remington telah direproduksi secara industrial sejak 1970, dengan label dan kualitas sekelas Remington. Lalu, di mana karya-karya aslinya? Ada di berbagai museum.